Cari Blog Ini

Kamis, 05 Januari 2012

Hotel Rwanda

1. Latar Belakang Film
Sebuah film yang menceritakan tentang pembantaian suatu etnis yang terjadi di afrika pada tahun 1994. Pembantaian ini dilakukan oleh suku hutu terhadap suku tutsi. Pembantaian ini dipicu oleh dendam lama suku hutu terhadap suku tutsi. Pada masa penjajahan belgia, suku tutsi diberika wewenang oleh kolonial. Mereka memiliki harta berlimpah dan merupakan golongan kolongmerat. Mereka sering menginvasi suku hutu pada masa tersebut. Kemudian setelah colonial belgia meninggalkan daerah afrika, tepatnya di Rwanda, colonial belgia memberikan kekuasaan terhadap suku hutu. Terbukti dengan presidennya berasal dari suku hutu. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh suku hutu untuk menginvasi balik suku tutsi atas perbuatannya di masa penjajahan belgia. Colonial belgia membedakan dua suku ini dengan adanya kartu identitas yang bertuliskan HUTU atau TUTSI. Inilah yang sangat membuat perbedaan pada dua suku ini.
2. Alur Cerita Hotel Rwanda
Dalam film ini diceritakan ada seorang manajer hotel mille colliness yang bernama Paul Rusesabagine, dia adalah hutu. Sementara dia menikah dengan gadis yang bernama Tatiana selaku orang tutsi. Mereka mempunyai anak-anak dan hidup damai bersama tetangga-tetangga mereka yang mayoritas adalah suku tutsi. Begitu pun dengan karyawan atau karyawati yang bekerja di hotel tersebut, mereka kebanyakan berasal dari suku tutsi.
Pada awal film paul dan dube (salah satu pegaiwai hotel/tutsi) pergi ke tempat George untuk membeli makanan dan minuman untuk stok para tamu yang berada di hotel, tiba-tiba setelah ingin pulang, salah satu pekerja perusahaan George lengah dan menjatuhkan satu box kayu yang berisi puluhan pedang, disinilah awal kecurigaan paul tentang peritiwa pembantaian tutsi. Saat jalan pulang, banyak masyarakat hutu yang memakai seragam kebesaran mereka sambil merayakan sesuatu dan mobil yang dikendarai paul dan dube pun terpaksa harus menepi dan salah satu dari orang hutu tersebut menghampiri mereka dan bertanya dengan bahasa suku mereka terhadap dube. Dube tidak mengerti apa yang ditanyakan orang tersebut, karena dia adalah orang tutsi, jd paul lah yang menjawab bahwa dia dan dube adalah orang hutu.
Saat malam tiba, terdengan suara bising di sekitar rumah paul, setelah dia dan istrinya mengintip apa yang terjadi, mereka melihat tetangganya dipukuli oleh golongan Interahamwe, yaitu golongan milisi brutal yang anti tutsi, yang ternyata pemimpinnya adalah George Rutuganda, teman baik paul dan juga penyuplai kebutuhan hotel paul yang telah gagal membujuk paul untuk ikut bersamanya. Sejak kejadian itulah para tetangga dan kerabat dekat paul berlidung di rumah paul. Pada saat pagi, ada mafia hutu yang memeriksa rumah paul beserta isinya dan ditemukan banyak orang-orang yang bersembunyi di dalamnya, yang ternyata adalah orang tutsi. Paul dipersilahkan pergi dan memisahkan diri dari keluarganya yang kebanyakan tutsi, namun dia menolak dan menginginkan istri dan anak-anaknya serta para tetangganya ikut dengannya dan berlindung di hotel, walaupun dia harus membayar mahal atas keinginannya tersebut. Kepemimpinan, kecerdikan dan penyuapan, membuat Paul dapat menyelamatkan keluarga dan tetangganya dari mafia Hutu bersenjata yang bertujuan menghabisi semua suku Tutsi. Setelah tawar menawar dengan seorang petugas militer Rwanda untuk keselamatan keluarga dan teman, Paul membawa mereka ke hotelnya. Makin banyak pengungsi membanjiri hotelnya dikarenakan kamp pengungsian PBB sangat berbahaya dan terlalu penuh pada saat itu. Hotel pun menjadi penuh sesak, Paul mesti berusaha menghalihkan tentara Hutu, peduli terhadap pengungsi, dan menjaga popularitas hotel sebagai hotel high-class.
Hotel mille collines berada sibawah perlindungan pasukan PBB. Penjaga perdamaian PBB, yang dipimpin oleh Kolonel Oliver tak dapat bertindak apapun melawan Interhamwe, disebabkan mereka dilarang untuk ikut campur dalam masalah pembantaian ini. ketidak-berpihakan PBB terus berlanjut disamping juga kelelahan Oliver dalam menjaga pengungsi Tutsi dan kemarahannya yang mempertanyakan kekuatan barat yang tidak peduli terhada Rwanda. Pada saat kerusuhan berlangsung semakin parah, muncul tentara eropa. Kedatangan tentara eropa ini member harapan bagi paul dan colonel oliver dalam menyelesaikan perang suku ini. Ttetapi harapan itu malah menjadi sebuah keputusasaan. Kedatangan tentara eropa tersebut bukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, tetapi untuk mengevakuasi semua warga eropa baik journalist, wartawan ataupun orang-orang berkulit putih lain untuk keluar dari hotel tersebut. Dan pada saat inilah paul semakin bingung dengan keadaan tersebut.
Sewaktu Interhamwe mengepung hotel, Paul dan keluarganya mulai mengalami stress berat. Pasukan PBB berusaha mengevakuasi kelompok pengungsi, termasuk keluarga Paul. Namun malah berbalik kembali ke hotel, setelah di hadang oleh massa perusuh Hutu dan Interhamwe. Dalam usaha terakhir untuk menyelamatkan pengungsi, Paul berbicara kepada Jenderal Rwanda dan berusaha memerasnya dengan ancaman menjadikan sang jenderal penjahat perang. Bizimungu terpaksa setuju dan kembali ke hotel yang dalam keadaan diserang oleh perusuh dan Interhamwe.
Tentara Bizimungu akhirnya dapat mengakhiri kekacauan dan Paul panik mulai mencari istri dan keluarganya, berpikir kalau mereka sudah bunuh diri seperti yang diperintahkan Paul apabila orang-orang Hutu dapat menyerang hotel. Setelah ketakutan setengah mati, Paul menemukan mereka bersembunyi di kamar mandi. Keluarga dan para pengungsi akhirnya dapat keluar dari hotel dengan kawalan konvoi pasukan PBB. Mereka menempuh perjalanan melewati pengungsi Hutu dan milisi Interhamwe menuju ke belakang garis depan pihak pemberontak Tutsi. Pada saat mereka ingin diserang oleh milisi interhamwe, ternyata ada pasukan bizimungu yang menembaki milisi interhawe tersebut, dan pasukan bizimungu dapat mengatasinya. Di akhir cerita, Paul menemukan kedua keponakannya yg masih kecil, yang keberadaan orang tuanya tidak diketahui, dan mengajak mereka dengan keluarganya keluar dari Rwanda.
3. Subjek film Hotel Rwanda
a. Paul Rusesabagina (orang hutu) sekaligus manager hotel mille colliness.
b. Tatiana selaku istri paul (orang hutu) beserta anak-anak dan para tetangganya yang mayoritas orang tutsi
c. George Rutuganda sebagai teman baik paul yang biasa menyuplai kebutuhan di hotelnya dan juga seorang pemimpin golongan interhamwe (golongan milisi anti tutsi)
d. Colonel Oliver sebagai utusan PBB yang memimpin dan menjaga perdamaian di PBB
e. Bizimungu sebagai jendral tentara di Rwanda
4. Penyebab terjadinya pembantaian
Yaitu karena dendam lama antara suku hutu dengan suku tutsi. Pada masa penjajahan belgia, suku tutsi lebih diprioritaskan dan mendapat wewenang atau kekuasaan dari colonial belgia dan sering menginvasi suku hutu. Setelah masa penjajahan, colonial belgia menyerahkan kekuasaannya kepada suku hutu, dan inilah yang menjadi titik balik atas invasi yang sering diterima suku hutu oleh suku tutsi.

5. Penyelesaian permasalahan
Penyelesaian terlihat pembantaian pada film ini dengan penembakan yang dilakukan oleh tentara Rwanda yang dipimpin oleh bizimungu selaku jendralnya terhadap milisi interhamwe. Jadi dia mengintruksikan untuk melindungi pengungsi hotel dan orang-orang tutsi dan menyerang militan anti tutsi yang ingin membunuh pengungsi dan orang-orang tutsi tersebut. Sementara PBB tidak boleh ikut campur dan tidak boleh memihak kepada dua suku tersebut. Dan akhirnya film selesai setelah paul dan isrtinya menemukan ponakan-ponakannya.

STATUS HUKUM ANAK HASIL PERKAWINAN CAMPURAN BERDASARKAN HUKUM INDONESIA

A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama.
Manusia dalam menempuh pergaulan hidup dalam masyarakat, ternyata tidak dapat terlepas dari adanya saling ketergantungan antara manusia dengan yang lainnya. Hal itu dikarenakan, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk sosial, yang suka berkelompok atau berteman dengan manusia lainnya. Hidup bersama merupakan salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Demikian pula bagi seorang laki-laki ataupun seorang perempuan yang telah mencapai usia tertentu, maka ia tidak akan lepas dari permasalahan tersebut. Ia ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan melaluinya bersama dengan orang lain yang bisa dijadikan curahan hati penyejuk jiwa, tempat berbagi suka dan duka.
Hidup bersama antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dan telah memenuhi ketentuan hukumnya, ini yang lazimnya disebut sebagai sebuah perkawinan. Perkawinan (pernikahan) pada hakekatnya, adalah merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang kekal dan bahagia. Perkawinan campuran telah, merambah seluruh pelosok Tanah Air dan kelas masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campuran juga terjadi pada tenaga kerja Indonesia, dengan tenaga kerja dari negara lain. Dengan banyak terjadinya perkawinan campuran di Indonesia, sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia
Dengan banyak terjadinya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di indonesia.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”
Selama hampir setengah abad pengaturan kewarganegaraan dalam perkawinan campuran antara warga negara indonesia dengan warga negara asing, mengacu pada UU Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958. Seiring berjalannya waktu UU ini dinilai tidak sanggup lagi mengakomodir kepentingan para pihak dalam perkawinan campuran, terutama perlindungan untuk istri dan anak.
Barulah pada 11 Juli 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari perkawinan campuran.
Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. UU kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila di kemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warga negara asing.
2. Rumusan Masalah
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini terhadap status hukum anak dari perkawinan campuran, berikut komparasinya terhadap UU Kewarganegaraan yang lama. Secara garis besar perumusan masalah adalah sebagai berikut :
a) Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran berdasarkan hukum di Indonesia?










B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Tentang Perkawinan
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UU No.1 ialah: ”Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekalberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dalam Undang-Undang, ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan jaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
b. Sahnya Perkawinan.
Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan tersebut, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku. Pencatatan tiap tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
c. Asas Monogami
Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.
d. Prinsip Perkawinan
Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur. Mempersukar Terjadinya Perceraian Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.
e. Hak dan Kedudukan Isteri
Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.
f. Jaminan Kepastian Hukum
Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal Undang-Undang ini tidak mengatur, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang ada.

2. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran telah merambah seluruh pelosok tanah air dan lapisan masyarakat. Globalisasi informasi, ekonomi, pendidikan, dan transportasi telah menggugurkan stigma bahwa kawin campur adalah perkawinan antara ekspatriat kaya dan orang Indonesia. Menurut hasil survei online yang dilakukan Indo-MC tahun 2002, dari 574 responden yang terjaring, 95,19% adalah perempuan warga WNI yang menikah dengan pria WNA. Angka terbesar adalah perkenalan melalui internet, kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman sekolah dan sahabat pena. Perkawinan campur terjadi pada tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain. Di lain pihak, Kantor Catatan Sipil (KCS) DKI Jakarta mencatat 878 perkawinan selama tahun 2002 sampai tahun 2004 dan 94,4 persennya adalah perempuan WNI yang menikah dengan pria WNA (829 pernikahan). Angka tersebut belum termasuk pernikahan di KUA yang tidak didaftarkan di KCS dan di seluruh Tanah Air11. Perempuan WNI adalah pelaku mayoritas kawin campur, tetapi hukum di Indonesia yang berkaitan dengan perkawinan campuran justru tidak memihak perempuan. Salah satunya adalah UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan telah menempatkan perempuan sebgai pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kawin campur (Pasal 8 ayat 1) dan kehilangan hak atas pemberian kewarganegaraan pada keturunannya. Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum antar golongan di bidang perkawinan, yaitu peraturan hukum manakah yang akan diberlakukan terhadap perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran yakni Regeling op de Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898).
Menurut Pasal 1 GHR, perkawinan campuran adalah perkawinan antara ”orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan”. Pasal 1 di atas memberikan penekanan pada verschillend rech onderwopen, yaitu yang takluk pada hukum berlainan. Seperti disebutkan di atas, warisan stelsel hukum kolonial mengakibatkan pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, antara lain suku bangsa, golongan, penganut-penganut agama, berlaku hukum yang berlainan terutama di lapangan hukum perdata. Adapun yang menjadi pertimbangan pluralisme tersebut bukan karena diskriminatif tetapi justru untuk dapat memenuhi kebutuhan hukum dari semua golongan yang bersangkutan, terutama yang, menyangkut hukum perkawinan. Karena faktor perbedaan agama dan kepercayaan masing-masing pihak, tidak mungkin mengadakan hukum yang seragam. Pasal 2 GHR menyebutkan dengan tegas mengenai status seorang perempuan dalam perkawinan campuran, yaitu selama pernikahan belum putus, seorang istri tunduk kepada hukum yang berlaku bagi suaminya baik di lapangan hukum publik maupun hukum sipil. Pasal 10 GHR mengatur tentang perkawinan campuran di luar negeri, di antaranya mengatur perkawinan campuran antar bangsa / antar negara, antara lain yang memiliki kewarganegaraan yang berbeda. Sementara itu, Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 memberikan definisi yang sedikit berbeda dengan definisi di atas. Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan adalah Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini untuk perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warganegara RI dengan seorang yang bukan warga negara RI, sehingga padanya termasuk perkawinan antara sesama warga negara RI yang berbeda hukum dan antara sesama bukan warga negara RI. Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam GHR dimaksud telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku. Oleh karena Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menekankan perbedaan kewarganegaraan dan atau tunduk pada hukum yang berlainan maka ketentuan GHR masih tetap berlaku sepanjang yang melakukan perkawinan campuran itu adalah orang sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 197412. Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo memberikan pengertian perkawinan internasional sebagai berikut: Perkawinan Internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur using. Unsur using tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di negara lain atau gabungan kedua-duanya.
Perbedaan hukum yang ada telah menyebabkan beberapa macam perkawinan campuran, yaitu:
1. Perkawinan Campuran Antar Golongan ( intergentiel ) Menerangkan hukum mana atau hukum apa yang berlaku, kalau timbul perkawinan antara 2 orang, yang masing-masing sama atau berbeda kewarganegaraannya, yang tunduk kepada peraturan hukum yang berlainan. Misalnya WNI asal Eropa kawin dengan orang Indonesia asli.
2. Perkawinan Campuran Antar Tempat ( Interlocaal) Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara orang-orang Indonesia asli dari masing-masing lingkungan adat. Misalnya, orang Minang kawin dengan orang Jawa.
3. Perkawinan Campuran Antar Agama (interreligius) Mengatur hubungan hukum (perkawinan) antara 2 orang yang masing-masing tunduk kepada peraturan hukum agama yang berlainan. Misalnya orang Islam dengan orang Kristiani.
Berkaitan dengan status sang istri dalam perkawinan campuran, terdapat asas, yaitu:
1. Asas Mengikuti Sang istri mengikuti status suami baik pada waktu perkawinan dilangsungkan maupun kemudian setelah perkawinan berjalan.
2. Asas Persamarataan Perkawinan sama sekali tidak mempengaruhi kewarganegaraan seseorang, dalam arti mereka masingmasing (suami dan istri) bebas menentukan sikap dalam menentukan kewarganegaraan.
Suatu kemajuan dibuat dalam Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin yang ditandatangani pada tanggal 20 Februari 1957 di mana setiap negara yang ikut menandatangani menyetujui bahwa baik penyelenggaraan maupun pembubaran perkawinan antara salah satu warga negaranya dan seorang asing, atau suatu perubahan kewarganegaraan oleh si suami selama perkawinan, tidak akan mempunyai suatu efek otomatis kewarganegaraan istrinya dan ketentuan dibuat untuk memudahkan (melalui naturalisasi) perolehan sukarela oleh seorang istri asing atas kewarganegaraan suaminya.

3. Anak Sebagai Subjek Hukum
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

4. Pengeturan Mengenai Anak Dalam Perkawinan Campuran
a) Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya. Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan No.62 tahun 1958
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
b) Menurut UU Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958
1) Permasalahan dalam perkawinan campuran
Ada dua bentuk perkawinan campuran dan permasalahannya:
i. Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU No.62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang kawin dengan seorang asing bisa kehilangan kewarganegaraannya, apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA bila ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa. Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dll) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan.
ii. Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU No.62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati , maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa. Untuk dapat tinggal di Indonesia perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas Setiap kali melakukan perjalanan keluar negri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor.¬ Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun. Seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.
2) Anak hasil perkawinan campuran
Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No.62 Tahun 1958 :
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”
Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing:


i. Menjadi warganegara Indonesia.
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila suami meninggal dunia dan anak anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus pegawai negeri) meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.
ii. Menjadi warganegara asing.
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).




c) Menurut UU Kewarganegaraan Baru (UU no 12 tahun 2006)
1) Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut
• Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
• Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
• Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
• Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
2) Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.
Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem hukum perdata internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam jurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan yang telah disampaikan maka penelitian ini memberikan pokok-pokok kesimpulan yaotu bahwa Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI memberikan jaminan kewarganegaraan anak dari hasil perkawinan campuran. Berdasarkan ketentuan tersebut menyatakan bahwa anak dari hasil perkawinan campuran mendapat hak untuk menentukan atau memilih kewarganegaraan. Hak tersebut diberikan jika telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan setelah berusia 18 tahun.
2. Saran
Dengan berlakunya Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI memberikan peluang yang besar terhadap perlindungan hak-hak anak dari hasil perkawinan campuran. Anak hasil dari perkawinan campuran hendaknya memanfaatkan ketentuan tersebut untuk melegasisasikan kewarganegaraan anak sesudah 18 tahun. Saran yang dapat diberikan pada pasangan perkawina campuran yaitu memahami dengan baik ketentuan-ketentuan hukum kewarganegaraan sehingga dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban yang menjadi konsekuensi atas perkawinan yang dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA

Nuning Hallet, Mencermati Isi Rancangan UU Kewarganegaraan, http://www.mixedcouple.com , diakses 12 August 2006.
Purnadi Purbacaraka, Agus Brotosusilo, Sendi-Sendi Hukum Perdata International Suatu Orientasi, (Jakarta, Raja Grafindo persada, 1997.
Ramulyo, M Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Perkawinan Islam, Jakarta: Penerbit Ind. Hill-Co, 1990.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, 2002, Cet. 30.
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, B, Jilid III Bagian I, Buku ke-7, Bandung: Penerbit Alumni, 1995.
Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, Jakarta, Prestasi Pustaka Publiser, 2006.
Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.
Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan RI.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
www.mixecouple.com, Masalah-Masalah Yang Saat Ini Dihadapi Keluarga Perkawinan Campuran, 12 Agustus 2006.
Zain Badjeber, Tanya Jawab Masalah Hukum Perkawinan, Jakarta, Sinar Harapan, 1985.

THE OWNERSHIP DISPUTE BETWEEN TWO ISLAND (SIPADAN-LIGITAN) AT THE BORDER INDONESIA-MALAYSIA

I. BACKGROUND DISPUTE
The case of Sipadan and Ligitan island began to emerge since 1969 when the Technical Team Indonesia-Malaysia Continental Shelf discuss the seabed boundary between the two countries. Both islands of Sipadan and Ligitan listed in Map Malaysia as part of the territory of the Republic of Indonesia, whereas the two islands are not listed on the attached map No. Perpu. 4/1960 which guide the technical team working Indonesia. With these findings Indonesia felt compelled to confirm both islands Sipadan and Ligitan. So they sought for a legal basis and historical facts and other evidence that could support the ownership of two islands. At the same time Malaysia claimed that two of the island as its own by making a number of reasons, the proposition of law and fact. Both sides said the two agreed to a temporary island in the "status quo". Twenty years later (1989), the problem both islands Sipadan and Ligitan new discussed again by President Soeharto & Prime Mahathir Mohammed.
II. DISPUTE SETTLEMENT STEP
A. In Bilateral (diplomatic)
Three years later (1992) the two countries agreed to resolve this issue Bilaterally ispreceded by a meeting of high officials of both countries. The results of the meeting of highofficials agreed on the need to establish the Joint Commission and Joint Working group (Joint Commission / JC & Joint Working Groups / JWG). But from a series of meetings held JC and JWG doesn’t bring results, both parties hold (comitted) in principle each different to overcome the impasse. Moerdiono Gol appointed State Secretary and was appointed Deputy Prime Minister of Malaysia Anwar Ibrahim Datok as Special Representative of the government to dilute the deadlock forum JC / JWG. But of the four meetings in Jakarta and Kuala Lumpur have never reached the agreement.
B. International Court of Justice
At the meeting date. 6 to 7 October 1996 in Kuala Lumpur President Soeharto and Prime Mahathir approved the special representative and the subsequent recommendations of date. May 31, 1997 approved the "Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the the between Indonesia & Malaysia Dispute Concerning the Sovereignty over Sipadan and Ligitan ". Special agreement was then formally submitted to the Supreme International (MI) on 2 November 1998. With the litigation process Sipadan and Ligitan in MI began to take place. Further explanation of the twoislands is entirely in the hands of RI.
Nevertheless, the two countries still have the obligation to submit their respective positionsthrough "Written pleading" Memorial to the Court on 2 November 1999 was followed,"Counter Memorial" on August 2, 2000 and "reply" on March 2, 2001. Furthermore, the process of "Oral hearings" of the two countries dispute in 3 to 12 June 2002. In the face ofthe material prepared above and Indonesia formed a special task force (SATGASSUS) consisting of various relevant institutions are: Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Home Affairs, Department of Defence, TNI headquarters, Dep. Energy and human resources, Dishidros Navy, regent, marine experts and international marine legal experts.
ICJ / MI in-trial proceedings in order to take the final decision, regarding the status of the two islands do not use (refuse) materials submitted by the law of both countries, but use the rules of evidence of other criteria, namely "Continuous presence, effective occupation, maintenance and ecology preservation" . In the injunction decision, the International Court of Justice ruled that "Indonesia's argument That it was successor to the Sultanate of Bulungan... can not be accepted". Meanwhile, the International Court also affirmed that "Malaysia'sargument That it was successor to the Sultan of Sulu ... can not be upheld".

KASUS SIPADAN LIGITAN

I. LATAR BELAKANG SENGKETA
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia–Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo”. Dua puluh tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
II. LANGKAH PENYELESAIAN SENGKETA SECARA BILATERAL
A. Secara Bilateral (diplomatic)
Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebuntuan. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.

B. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati “Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan”. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi masing-masing melalui “Written pleading“ kepada Mahkamah Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, “Counter Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “reply” pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses “Oral hearing” dari kedua negara bersengketa pada 3–12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International.
Indonesia mengangkat “co agent” RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp 16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar pengacara.
ICJ/MI dalam persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir, mengenai status kedua pulau tersebut tidak menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu “Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation”. Dalam amar keputusannya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa “Indonesia’s argument that it was successor to the Sultanate of Bulungan … cannot be accepted”. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga menegaskan bahwa “Malaysia’s argument that it was successor to the Sultan of Sulu … cannot be upheld”.
C. Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Internasional
Mahkamah kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan pulau-pulau tersebut adalah dengan menerpakan doktrin effective occupation. Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada.
Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali. Mahkamah hanya melihat bukti hukum sebelum 1969. Dalam kaitan ini perlu digarisbawahi bahwa Federasi Malaysia baru terbentuk secara utuh dengan Sabah sebagai salah satu negara bagiannya pada 16 September 1963.
Dapat dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P. Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di pulau-pulau tersebut.
Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupatio yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas.
Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik.
Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum.
MI dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. Mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
D. Pertimbangan Putusan Mahkamah Internasional
1. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
E. Pembuktian masing-masing Negara di Mahkamah Internasional
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni:
a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.
b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
F. Putusan Mahkamah Internasional
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.
Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa “activities by private persons cannot be seen as effectivitè, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority” Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation.
Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu “regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name”.
Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan.
Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional, Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963.
III. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Menurut kami, sengketa ini dimenangkan oleh Malaysia berdasarkan asas effective occupation yang menjelaskan bahwa pemerintahan Malaysia telah menjalankan aktifitas administrasi negera berupa pemungutan pajak atas tanah dan benda lainya dan juga menjalankan beberapa aktifitas lainnya. Menurut Mahkamah Internsional Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Jadi mahkamah internasional menetapkan kepemilikan dua pulau tersebut kepada Malaysia.
B. Saran
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau yang tidak bertuan dan berdekatan dengan perbatasan dengan negara lain, Sehingga pulau-pulau tersebut lepas dari pengawasan pemerintah pusat. Seharusnya pemerintah dalam hal ini harus berperan dalam melaksanakan kegiatan kegiatan keadministrasian negara. Dengan adanya pemerataan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah pusat,maka pulau-pulau tersebut terjadi aktivitas keadministrasian yang dilakukan oleh penduduk Indonesia. Jadi pengawasan terhadap pulau pulau tersebut menjadi efektif



Daftar Pustaka
Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002.
Frans B. Workala, SPd, MM, Pengembangan, Sumber Kekayaan Alam Daerah Perbatasan Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, Taskap KSA X Lemhannas, Jakarta 2002
Hasjim Djalal, Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?, SK Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003.
SK, Sipadan-Ligitan, Ujian Kematangan Suatu Bangsa, Jakarta, 18 Desember 2002.

konsep

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ini banyak perkembangan yang terjadi, bukan sekedara dari satu hal saja, seperti teknologi, komunikasi, budaya, politik dan juga perkembangan hukum yang harus selalu sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam era reformasi yang berkembang di Indonesia saat ini, hukum menjadi sebuah panglima dalam pelaksanaan demokrasi yang mendasarkan pada hakikat dan keinganan semua rakyat di republik ini. Dalam penegakkannnya banyak dibutuhkan lembaga-lembaga yang berwenang untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang ada saat ini, seperti lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Lembaga-lembaga itulah yang secara resmi berwenang dalam kekuasaannya masing-masing. Lembaga eksekitif sebagai penyelenggara pemerintahan yang melaksanakan semua peraturan-peraturan yang telah dibuat dan diresmikan oleh lembaga legislative. Sementara dalam pengawalan pelaksaan aturan tersebut dilaksanakan oleh lembaga yudikatif dan lembaga peradilan lain.
Dalam hal pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan, di Indonesia ada lembaga khusus yang menjaga berdiri tegaknya Undang-Undang Dasar dan Pancasila, yaitu Mahkamah Konstitusi. Mahkamah konstitusi dalam tugasnya dalam UUD 1945 pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, …”. Jadi lembaga inilah yang menjaga kesakralan UUD 1945 terhadap undang-undang di bawahnya.
Lembaga legislative dalam melakukan tugasnya yaitu membuat undang-undang atau peraturan-peraturan baru haruslah sesuai atau sejalan dengan UUD 1945 yang notabanenya sebagai undang-undang tertinggi dalam susunan peraturan di republic ini.
Namun, adakah undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislative yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar UUD 1945? Tentu ada, dan mahkamah konstitusi berhak membatalkan atau mencabut atau merevisi sebagian atau seluruh isi atau undang-undang tersebut.
Dalam era saat ini, Indonesia ikut aktif dalam perkembangan globalisasi dunia yang banyak diikuti oleh negara-negara lain. Banyak hubunyan diplomatis Indonesia dengan negara lain, baik hubungan internasional yang bersifat regional, bilateral, multilateral, dsb. Dalam perkumpulan tersebut tentu saja ada yang dibicarakan dan kesepakatan yang dibuat. Kesepakatan inilah yang melahirkan perjanjian-perjanjian internasional bagi pihak yang terkait.
Perjanjian internasional adalah pedoman bagi negara-negara untuk melaksanakan isi dari perjanjian itu atau bisa dibilang undang-undang. Kiarena kedudukan perjanjian dengan undang-undang setara meskipun sanksi atas pelanggarannya berbeda. Dalam perjanjian internasional bisa diratifikasi oleh negara yang turut serta atau yang menjadi anggotanya. Proses pengadopsian (ratifikasi) perjanjian internasional menjadi undang-undang melalui persetujuan lembaga legislative. Jadi merekalah yang berhak dan mengesahkan ratifikasi atas perjanjian internasional tersebut.
Namun apakah semua perjanjian internasional yang diratifikasi oleh DPR sejalan dengan Undang-undang dasar 1945 dan nilai-nilai pancasila? Apakah Mahkamah Konstitusi bisa mengadakan Judicial Review terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah Mahkamah konstitusi berwenang dalam melakukan judicial review terhadap perjanjian internasional yang telah diratifikasi menjadi undang-undang?



BAB II
PEMBAHASAN

A. Undang-Undang
1. Pengertian Undang-Undang
Peraturan perundang-undangan adalah semua hukum dalam arti luas yang dibentuk dengan cara tertentu, oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam artinya yang luas itu sebenarnya hukum dapat juga diartika putusan hakim, terutama yang sudah berkekuatan hukum tetap dan menjadi yurisprusensi .
Jadi undang-undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan.

2. Hierarki Undang-Undang
Semua peraturan yang mengikat itu disusun secara hierarkis untuk menentukan derajatnya masing-masing dengan konsekuensi jika ada dua peraturan yang bertentangan maka yang dinyatakkan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Susunannya yaitu:
a. UUD
b. Tap MPR (S)
c. UU
d. Perpu
e. PP
f. Keppres
g. Perda



B. Perjanjian Internasional
1. Pengertian Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional. Sebagaimana tercantum dalam pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, perjanjian Internasional (treaty) didefinisikan sebagai:
Suatu persetujuan yang dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrument tunggal atau dua atau lebih instrument yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan padanya.
Definisi ini kemudian dikembangkan oleh pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1999 tentang hubungan Luar Negeri yaitu:
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, oraganisasi Internasional atau subjek hukum internasional, serta menimbulkan hal dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum public .
2. Ratifikasi Perjanjian Internasional
C. Judicial Review
1. Pengertian Judicial Review
2. Alasan Judicial Review
D. Kewenangan Lembaga Yudikatif melakukan Judicial Review
1. Mahkamah Konstitusi
2. Mahkamah Agung


k

Minggu, 19 Juni 2011

Makalah Dasar Peniadanaan Pidana di Luar Undang-undang

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hukum pidana menempati posisi penting dalam seluruh sistem hukum dalam suatu negara, terutama yang menganut sistem Eropa Kontiinental, dalam hal ini negara kita, Indonesia. suatu bentuk penerapan peraturan yang dapat dilihat yaitu dalam bentuk hukum positif, yang contohnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun masih dipertanyakan manfaatnya dalam menyusun tata masyarakat yang tertib dan damai, tetapi masih harus terus dipelajari lebih dalam untuk menunjang sistem kehidupan dalam masyarakat.
Hukum pidana merupakan suatu bentuk otentik yang menjadi sebuah landasan berlakunya hukum pidana di Indonesia dan merupakan acuan bangsa Indonesia untuk menentukan apa saja perbuatan-perbuatan yang dapat melanggar hukum dan dapat dijatuhi pidana atas perbuatan-perbuatan tertentu.
Hukum pidana adalah salah satu bagian dari hukum publik yang mengatur tingkah laku dan perbuatan seseorang yang dilarang oleh undang-undang serta ancaman hukuman (sanksi) yang dapat diberikan terhadaap pelanggarnya. Hukum pidana ini menempati peraan sentral dalam penegakkan hukum di negara kita, yang berbasis kepada suatu aturan tertulis. Indonesia mempunyai Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjadi dasar pedoman peraturan-peraturan tertulis, yaitu asas nullum dellictum, nulla poenasine praevia lege poenali, yaitu Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan bersangkutan sebagai suatu delik dan membuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu .



Dalam makalah ini yang akan di bahas yaitu tentang peniadaan pidana di luar Undang-Undang. Di dalam kepustakaan sering juga disebut hal penghapus pidana. Semua istilah tersebut adalah berasal dari bahasa Belanda “Straf Uitsluitingsgrond” ). Apabila diterjemahkan secara harfiah adalah “dasar penghapus Pidana”. Pada hakikatnya tidak semua hal-hal yang telah ditentukan oleh Undang-Undang hukum pidana untuk memidana seseorang yang nyata-nyata telah melakukan semua unsur yang telah ditetapkan dalam suatu pasal dalam perundang-undangan hukum pidana.
Dengan perkataan lain, masalh yang akan diurauikan adalah apabila seseorang telah melakukan semua unsur yang ada dalam suatu pasal, dimana seharusnya orang tersebut dipidana, akan tetapi terhadap hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, pelaku tersebut tidak dipidana.
Sebut saja sebagai contoh, regu tembak yang telah melaksanakan eksekusi terhadap seseorang yang telah dijatuhi hukuman mati dalam putusan pengadilan yang telah mempunyai kepastian hukum yang pasti. Dilihat dari segi unsur-unsur, regu tembak tersebut telah memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pasal 338 KUHP. Yakni “barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” . Tentunya regu tembak tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ada dalam pasal 338 KUHP, sehingga seharusnya mereka dipidana. Akan tetapi karena ada hal-hal yang memang telah ditentukan dalam Undang-Undang, maka regu tembak tersebut tidak dikenai pidana sedikit pun.





Contoh lain umpanya seseorang diserang orang lain untuk dibunuh. Orang yang diserang akhirnya dapat merebut senjata penyerangnya dan karena membela dirinya sendiri, sehingga ia menyerang orang yang menyerangnya dan akhirnya si penyerangnya pun meninggal dunia.
Hal ini pun telah diatur dalam KUHP. Dimana terhadap pembelaan diri, meskipun orang tersebut sudah membunuh penyerangnya, tidak dijatuhi pidana. Meskipun harus ditelaah lebih jauh apa syarat-syarat sehingga suatu perbuatan dapat disebut sebagai”bela diri”.
Demikina pula terhadap anak yabg belum dewasa melakukan tindak pidana, apakah ukurannya sehingga mereka tidak dipidana meskipun nyata-nyata mereka telah melakukan tindak pidana. Karena tidak semua anak yang belum dewasa yang melakukan tindak pidana tidak dipidana atau sebaliknya tidak semua anak yang belum dewasa yang melakukan tindak pidana akan dipidana. Ada ukuran tertentu untuk dapat dipidananya seorang anak yang telah nyata-nyata melakukan tindak pidana.
Terhadap seseorang yang dinyatakan sakit jiwa juga menjadi permasalahan. Seseorang yang sakit jiwanya apabila melakukan tindak pidana, maka mereka tidak dikenakan pidana, karena dianggap tidak dapat bertanggungjawab atas perbuatannya.disebutkan dalam pasal 44 ayat (1) KUHP bahwa “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.”





Di samping hal-hal peniadaan pidana yang telah ditentukan di dalam Undang-Undang (wettelijke strafuitsluitingsgrond) yang telah disebutkan di atas, masih terdapat hal peniadanaan pidana di luar Undang-Undang (buiten wettelijke straf uitsltuitingsgrond). Umpanya orang tua yang memukul anaknya demi kepentingan pendidikan atau seorang guru yang memukul muridnya demi kepentingan pendidikan, dokter yang melakukan pembedahan untuk pengobatan pasiennya, dan sejenisnya tidak dikenakan pidana. Ini termasuk peniadaan pidana di luar Undang-Undang.
Azas “tiada pidana tanpa kesalahan” justru menjadi penting dalam mencari sejauh mana terdapat hal yang menjadi tiadanya pidana. Sehingga harus dicari apakah seseorang telah mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana.
Perlu adanya penjelasan tentang penggunaan istilah tindak pidana dalam uraian ini. Karena ada dua pendapat tentang pengertian tindak pidana. Pengertian pertama mengartikan tindak pidana sebagai “criminal act”, yakni perbuatan pidana yang diperkenalkan oleh Prof. Mulyatno. Perbuatan pidana ini juga dapat kita samakan dengan istilah inggris yang menganut sistem anglo-saxon.
Pertama, karena criminal act ini juga berati kelakuan dan akibat, atau dengan perkataan lain: akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang oleh hukum. Dalam Kenny’s Outlines Of Criminal Law 1952 tentang criminal act atau dalam bahasa latin: actus reus ini diterangkan sebagai berikut: “actus reus may be defined as such result of human conduct, as the law seeks (mencoba) to prevent. It is important to note that the actus reus, which is the result of conduct, must be distinguished from the conduct which produced the result” .




Kedua, karena criminal act ini juga dipisahkan dari pertanggungjawaban pidan yang dinamakan criminal liability atau responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu harus juga mempunyai kesalahan (guilt). Hal ini dinyatakan dalam kailat latin: “Actus non facit reum, nisi mens sit res”. (an act does not make a person guilty, unless the mind is guilty) .
Secara teoritis terhadap terjadinya suatu tindak pidana, akan diteliti terlebih dahulu apakah pelaku telah memenuhi unsur pasal yang dituduhkan, terdakwa dianggap tidak melaukan tindak pidana. Sedangkan apabila semua unsur telah terbukti dilakukan, maka pelaku diteliti lebih lanjut tentang kesalahannya untuk memperhitungkan pertanggungjawabannya.
Sedangkan pengertian lain adalah dimana tindak pidana meliputi baik perbuatan pelaku maupun pertanggungjawabannya. Konsep demikian merupakan konsep yang digunakan dalam sistem hukum eropa kontinental.
Dalam tulisan ini apabila disebut tindak pidana, berarti pemenuhan unsur pasal dalam suatu perundang-undangan hukum pidana. Jadi dipergunakan konsep pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
Dalam hal ini, apabila seseorang telah memenuhi unsur suatu pasal perundang-undangan pidana, atau dalam hal ini selanjutnya disebut tindak pidana, terhadapnya apakah dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu masih harus dicari apakah pelaku dapat dipersalahkan.
Disinilah pokok permasalahan. Apakah seseorang dapat dipersalahkan sehingga nantinya dia akan dipertanggungjawabkan. Atau sebaliknya, apakah dia tidak dipersalahkan sehingga tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.


Hal peniadaan pidana dapat berasal dari diri si pelaku, dapat pula terjadi karene faktor di luar si pelaku. Apabila hal tersebut berasal dari diri si pelaku, diperlukan bantuan ilmu lain untuk mengetahui sejauh mana kemampuan bertanggungjawab si pelaku.
Sedangkan apabila faktor peniadaan pidana yang berasal dari luar diri si pelaku, dicari syarat-syarat yang menjadi ukuran sejauh mana faktor dari luar tersebut dianggap dapat menjadi penyebab tidak dipidananya seseorang.

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Apakah dasar peniadanaan pidana di luar undang-undang dapat melepaskan seseorang dalam hukuman pidana?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan seseorang tidak dipidana berdasarkan dasar peniadanaan di luar Undang-undang?


II. DASAR PENIADANAAN PIDANA DI LUAR UNDANG-UNDANG

Di samping hal-hal peniadanaan pidana yang telah ditentukan di dalam KUHP, dalam kehidupan sehari-hari adakalanya terdapat perbuatan seseorang yang termasuk tindak pidana. Akan tetapi karena terdapat tujuan tertentu, maka perbuatan itu tidak dapat dipidana.
Sebagai contoh, misalnya sesorang ayah memukul anaknya, atau deorang guru memerintahkan murid untuk berdiri selama sekian waktu di depan kelas.
Hal ini merupakan penganiayaan. Sehingga tentunya secara formal telah memenuhi ketentuan dalam KUHP. Akan tetapi karena pemukulan tersebut (dalam batas kewajaran) serta menyuruh berdiri dalam waktu tertentu di depan kelas adalah dalam rangka mendidik, perbuatan itu tidak dipidana.
Demikian pula seseorang dokter yang melakukan pembedahan terhadap tubuh pasiennya, merupakan hal yang harus dilakukan demi kepentingan pengobatan penyembuhan pasien. Meskipun perbuatan pembedahan merupakan perbuatan yang menyebabkan luka terhdapa orang lain, tidak pidana.
Hal lain dalam masyarakat yang merupakan perbuatan tindak pidana, akan tetapi tidak dipidana adalah olahraga tinju. Pemukulan dalam olahraga tinju, memang dikehendaki oleh masing-masing pihak, sehingga pemukalan tersebut ukan hal yang dapat dipidana. Meskipun demikian bukan semua hal yang memang diminta oleh pihak yang bersangkutanakan memebebaskannya dari pidana. Pembunuhan yang diminta dengan sangat oleh korban, tetap merupakan hal yang terlarang oleh KUHP.

Tidak dipidananya hal-hal yang yang dicontohkan di atas adalah disebabkan perbuatan-perbuatan itu tidak melawan hukum secara materiil. Hukum dalam masyarakat melihat bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang tercela. Dalam pembahasan ini ada dua pembahasan tentang alasan peniadaan pidana di luar Undang-undang, yaitu:

1. Apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercela secara materiil (melawan hukum materiil) dari suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.
2. Didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld)





Pembahasan dasar peniadanaan pidana di luar Undang-undang terbagi atas dua, yaitu:
A. Kehilangan sifat Melawan Hukum dari Perbuatan (secara materiil dalam Fungsinya yang Negatif)
Dasar peniadaan pidana di luar undang-undang yang berhubungan dengan sifat melawan hukum materiil dalam suatu perbuatan dalam fungsinya yang negatif, dalam arti mencari ketiadaan unsur melawan hukum di luar undang-undang untuk tidak mempidana suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, dan bukan mencari adanya unsur melawan hukum dalam undang-undang dalam rangka mempidana suatu pelaku perbuatan tertentu.
Sebagaimana diketahui bahwa undang-undang hanya mempidana seseorang yang melakukan perbuatan, apabila perbuatan itu telah dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan sebagai peraturan yang dilarang (artinya mengandung sifat tercela atau melawan hukum). Hanya perbuatan yang diberi label tercela tercela atau terlarang saja yang pelakunya dapat dipidana. Pengertian sifat melawan hukum yang demikian disebut dengan melawan hukum formil, karena semata-mata sifat terlarangnya perbuatan didasarkan dalam pemuatannya dalam Undang-undang. Perbuatan lain yang di luar apa yang ditentukan sebagai dilarang oleh Undang-undang, walaupun tercela menurut masyarakat atau menurut asas-asas umum masyarakatatau melawan hukum materiil, sepanjang tidak dilarang menurut perturan perundang-undangan, tidaklah dapat dipidana. Hal ini telah ditentukan secara tegas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP tentang apa yang dikenalkan dengan asas legalitas, yaitu tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya” .




Perbuatan yang mengandung sifat tercela menurut masyarakat yang tidak tercela menurut Undang-undang tidaklah dapat dipidana. Tapi sebaliknya pada perbuatan yang secara nyata terlarang menurut Undang-undang, yang karena menurut faktor atau sebab tertentu boleh jadi tidak mengandung sifat tercela atau kehilangan sifat tercelanya menurut masyarakat, maka terhadap si pembuatnya tidak dipidana. Inilah yang dimaksud dengan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.
Dalam praktek hukum kehilangan sifat tercelanya perbuatan menurut kepatutan masyarakat yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat atas perbuatnnya itu sering terjadi, dapat dipelajari misalnya arrest Hoge Raad (20-2-1933) dalam perkara dokter hewan dari kota Huizen. Duduk perkaranya sebagai berikut. Seorang dokter hewan mencampurkan sapi-sapi yang sakit ke dalam kandang sapi-sapi yang sehat, yang menurut pasal 82 Veewet (di Belanda) dilarang dan diamcam denagn oidana penjara paling lama 1 tahun. Adapun alasan dari perbuata dokter hewan tersebut ialah untuk kepentingan sapi dan pemilknya itu sendiri. Menurut pertimbangannya dari ilmu yang dimilikinya, bahwa sapi-sapi yang sehat itu pada akhirnya pasti terkena penyakit juga. Oleh karena pada saat itu, sapi-sapi tersebut belum mengeluarkan air susunya, menurut pertimbangan dari ilmu yang dimilkinya, lebih bai tertular lebih dulu dari pada tertu lar setelah mengeluarkan air susunya, maka dia mencampurkan sapi-sapi yang sakit itu ke kandang sapi-sapi yang sehat.
Pada peradilan tingkat banding, Gerechtscof Amesterdam menjatuhkan pidana kepada dokter hewan tersebut atas perbuatannya itu dengan alasan bahwa dokter hanya memberi penjelasan tentang apa yang mendorong dalam hal berbuat demikian, dan tidak merupakan perkecualian yang dapat meniadakan pidana. Akan tetapi pada tingkat kasasi Hoge Raad berpendapat lain, bahwa dengan adanya Undang-undang mengenai pendidikan dokter hewan, maka pemeliharaan kesehatan hewan dan siapa yang boleh menjalankan pekerjaan dokter hewan telah diatur. Dengan demikian telah ada petunjuk bahwa dokter hewan tidak akan melanggar ketentuan undang-undang, apabila dia berbuat sesuai dengan ilmu yang dimilikinya .
Dengan alasan yang demikian, maka hoge Raan membatalkan putusan Gerechtshof Amestredam tersebut dengan melepas terdakwa dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dan tidak menjatuhkan pidana terhadap dokter hewan tersebut.
Praktek yang demikian itu juga dianut oleh Mahkamah Agung seperti ternyata dalam putusannya No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam perkara Machroes Effendi yang didiakwa melanggar pasal 372 juncto 64 KUHP, dimana dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa: Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan berlaku umum, dalam perkara ini misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”. Dengan didasarkan pada pertimbangan demikian, maka Mahkamah Agung tidak menjatuhkan pidana kepada terdakwa, melainkan menjatuhkan putusan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Putusan Mahkamah Agung dengan pertimbangan tertang sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif yang merupakan alasan peniadaan pidana seperti di atas diikuti oleh putusan-putusan berkutnya, seperti pada putusan No. 72 K/Kr/1970 tanggal 27 mei 1972, yang dalam salah satu pertimbangannya menyatakan “Bahwa meskipun Undang-undang no. 17/1964 tersebut merupakan suatu formil delict, namun hakim secara materiil harus memperhatikan juga adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atasa dasar mana mereka tak dapat dihukum (materiele wederrechtelijkheid )”.

Selanjutnya dalam pertimbangan berikutnya Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan keberatan pemohon kasasi menyatakan: “Menimbang, bahwa walaupun perbuatan-perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa telah terbukti semuanya, akan tetapi Mahkamah agung berpendapat, bahwa perbuatanperbuatan tersebut, bukanlah merupakan tindak pidana penadahan, karena sifat melawan hukum tidak ada sama sekali.
Pada pertimbangan yang terakhir ini yang dimaksud dengan sifat melawan hukum yang tidak ada itu, tiada lain adalah bukan sifat melawan hukum formil, akan tetapi sifat melawan hukum materiil sebagaimana yang dimaksud pada pertimbangan sebelumnya dengan kalimat “....... adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas dasar mana mereka tak dihukum (materiele wederechtelijkheid)” tersebut di atas.
Bahwa dalam praktek hukum sekarang telah secara nyata menganut dan menerapkan paham sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif telah ditegaskan dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung tanggal 27 maret 1972 no. 72 K/Kr/1970, dimana diterangkan bahwa “yurisprudensi waktu sekarang ini jelas menganut matereile wederrechtelijkheid”.
Tampaklah kini bahwa adanya alasan peniadaan pidana di luar Undang-undang yang bertumpu pada ketiadaan sifat melawan hukum materiil (dalam fungsinya yang negatif) ini merupakan hukum pidana yang tidak tertulis. Pengisian hukum pidana melalui praktek hukium pidana seperti ini, dapat dimengerti dalam usaha para praktisi in casu pengadilan (hakim) mencapai keadilan dalam hal pemidanaan.
Alasan ini juga digunakan dalam berbagai kasus yang telah diterangkan sebelumnya, seperti tidak dipidananya petinju yang memukul lawannya bahkan sampai mati lawannya itu dan juga orang tua yang memukul anaknya dalam rangka mendidik serta seorang guru yang memukul muridnya demi pentingnya pendidikan.
Tidak dipidananya hal-hal yang dicontohkan di atas, adalah disebabkan perbuatan-perbuatan itu tidak melawan hukum secara materiil. Hukum dalam masyarakat melihat bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan tercela.

Meskipun demikian, tidak selamanya suatu perbuatan dianggap sebagai tidak melawan hukum secara materiil dalam masyarakat. Perkembangan ilmu pendidikan sudah mengarah kepada dilarangnya pendidikan melalui kekerasan. Oleh sebab itu pemukulan oleh sseorang guru terhadap muridnya demi kepentingan pendidikan, perlu dipertanyakan. Apakah perbuatan guru yang memukul muridnya dianggap hal yang melawan hukum secara materiil. Mungkin saja dalam waktu yang akan datang, melalui perkembangan ilmu mendidik, perbuatan orang tu memukul anaknya merupakan perbuatan yang kelawan hukum.
Sejauh ini melawan hukum secara materiil merupakan hal yang kontroversial, sebab mengandung terjadinya ketidakpastian hukum terhadap ukuran yang dipakai menilai suatu perbuatan. Akan tetapi bagaimanapun, tidak dapat diingkari bahwa hukum pidana harus mempertimbangkan penilaian masyarakat terhadap suatu perbuatan, apabila hukum pidana merupakan tujuan terdapatnya ketentraman keadilan dalam suatu masyarakat .

B. Dasar Peniadanaan Pidana Karena Ketiadaan Unsur Kesalahan Pada Si Pembuat.

Asas tiada pidana tanpa kesalahan telah dianut sejak tahun 1930, hanya si pembuat yang terbukti bersalah saja yang dapat dijatuhi pidana. Kesalahan adalah bagian terpenting dalam tindak pidana dan demikian juga halnya untuk menjatuhkan hukuman pidana. Jika kesalahan itu tidak ada pada si pembuat dalam suatu perbuatan tertentu, maka berdasarkan asas ini si pembuat tidak boleh dipidana.
Ketiadaan kesalahan si pembuat atas perbuatannya terjadi karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang keadaan nyata atau fakta yang ada ketika perbuatan dilakukan. Contoh pada kasus pengusaha susu. Dimana si pengusaha susu mencampur susu dengan air, yang oleh liveransirnya dikirim pada pelanggannya yang menurut hukum ketentuan pidana (Belanda) dilarang. Liveransirnya tersebut tidak dipidana oleh Hoge Raad (14-2-1916), disebabkan karena dia tidak mengetahui tentang susu yang dikirimkannya ke pelanggannya itu ternyata telah dicampur dengan air oleh si pengusaha. Karena liveransirnya itu tidak mengetahui, maka dia tidak dijatuhi hukuman pidana.
Mengenai penegakkan hukum pidana berlaku prediksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum, sehingga si pembuat tidak dapat membela diri dengan alasan dia tidak mengetahui hukum yang berlaku. Tetapi dalam praktek ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai hukum kadang dapat dijadikan alasan dasar peniadanaan pidana.
Contohnya ialah pada saat pada kasus seorang pengendara motor yang sebelum mengendarai motornya itu dia telah datang menghadap pejabat kepolisian yang berwenag untuk mendapatkan informasi selengkapnya tentang surat-surat yang diperluakn untuk mengendarai kendaraan bermotor, yang ternyata pejabat itu tidak memberikan informasi yang sempurna, karena polisi itu tidak memberikan keterangan bahwa diperlukan juga surat bukti kewarganegaraan, tidak dipersalahkan dan karenanya tidak dipidana oleh Hoge Raad (22-11-1949) atas dakwaan mengenai kendaraan bermotor tanpa kelengkapan surat-surat (schaffmeister dkk., sahetapy (ed), op.cit.,: 71, 147)











III. PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang sudah tertera di atas, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar peniadanaan di luar Undang-undang dapat membebaskan seseorang dalam semua tuduhan yang dituduhkan padanya dan tidah dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi ada unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk tidak dipidananya orang tersebut. Dan tidak semua tindak pidana dapat dibenarkan untuk dihapuskannya dasar peniadanaan pidana di luar Undang-undang.

2. Dalam peniadanaan pidana di luar Undang-undang, terdapat alasan-alasan yang menghapuskan pidana, yaitu:
- Hak dari orang tua, guru untuk menertibkan anak-anak atau anak didiknya.
- Hak yang timbul dari pekerjaan seorang dokter, apoteker dan bidan.
- Ijin atau persetujuan dari orang yang akan dirugikan oleh orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan. Seperti petinju.
- Tidak ada unsur sifat melawan hukum yang materiil.
- Tidak ada kesalahan sama sekali.

Dari hal-hal yang telah disebutkan diatas, dapat diketahui bahwa ada suatu batasan pidana untuk suatu pidana tertentu. Dalam hal ini harus memenuhi unsur-unsur yang telah disebutkan diatas. Yang pertaman adalah tidak ada sifat melawan hukum materiil dan yang kedua adalah tidak adanya unsur kesalahan dari si pembuat. Apabila hal itu terpenuhi, maka seorang terdakwa dapat terlepas dari pidana yang dituduhkan kepadanya.

B. Saran-saran

1. Perlu adanya keadilan dari diri seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara yang mengandung asas dasar peniadanaan di luar Undang-undang.

2. Perlu dilakukannya penelitian kasus pidana yang telah memenuhi unsur delik, tapi perbuatan tersebut tidak memenuhi unsur delik materiil atau tiada kesalahan. Hal ini dilakukan dalam rangka penegakkan hukum dalam supremasi hukum saat ini.

DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami. 2002. Pelajaran Hukum Pidana 2 (Penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, pemberatan dan Peringan Pidana Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hamzah, Andi. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Kanter, E.Y. dkk. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika.
Loqman, Loebby. 1992. Hal-hal Peniadanaan pidana. Jakarta: Penerbit Universitas.
Moeljatno. 2008. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
--------------2007. KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Prayudi, Guse. 2008. Seluk Beluk Hukum Pidana Yang Penting Untuk Diketahui. Jakarta: Boya Book.
Utrecht, E. 1956. Hukum Pidana I. Djakarta: Penerbit Universitas.

Minggu, 13 Februari 2011

Tensis

Main Tenses

Ada tiga tenses utama (main tenses) yang perlu Anda ketahui.

* Present tense
* Past tense
* Future tense

Main tense di atas masing-masing bisa dibagi menjadi empat bagian, yaitu bentuk sederhana (simple), bentuk sedang (continous), dan bentuk sempurna (perfect).

1. Present Tense

* Simple Present Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu kebiasaan (peristiwa yang terjadi berulang-ulang). Contohnya: Dia belajar Fisika dan Matematika setiap hari Kamis.

Simple present tense memiliki struktur :

Subject + verb (dalam bentuk infinitive) + …

Contoh: She studies Physics and Mathematics every Thrusday.

Sementara, bentuk kalimat tanya dirumuskan sebagai berikut.

Do/does + subject + verb + …

Contoh: Does She study Physics and Mathematics every Thrusday?

* Present Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu peristiwa yang sedang terjadi. Contohnya: Ibu saya sedang menyiram bunga sekarang.

Present continous tense memiliki struktur:

Subject + am/is/are + verb – ing (present participle) + …

Contoh: Mother is watering flowers now.

Sementara, struktur kalimat tanya tense ini dirumuskan:

Am/is/are + subject + verb – ing + ...

Contoh: Is mother watering flowers now?

* Present Perfect Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu, tetapi masih berlangsung sampai sekarang. Contoh: Keluarga kami sudah menempati rumah ini selama 10 tahun.

Present perfect tense memiliki struktur:

Subject + have / has + past participle + ….

Contoh : our family have occupied this house for 10 years.

* Present Perfect Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu peristiwa masa lalu yang masih berlangsung sekarang dan akan diteruskan pada waktu yang akan datang. Contoh: Kakak saya sudah bekerja di Jepang selama 7 tahun.

Present continous tense, dirumuskan sebagai berikut:

Subject + have / has + been + verb – ing + …

Contoh: My brother been working in Japan for 7 years.

Past Tense

* Simple Past Tense

Digunakan untuk menunjukkan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Contoh: Veronica membeli rumah ini 3 tahun yang lalu.

Simple past tense memiliki struktur:

Subject + verb (bentuk lampau) + ….

Contoh: Veronica bought this house 7 years ago.

Sementara bentuk kalimat tanya tense ini, dirumuskan :

Did + subject + verb (dalam bentuk pertama) + ….

Contoh : Did Veronica buy this house 7 years ago?

* Past Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu peristiwa yang sedang berlangsung pada waktu tertentu di masa lalu. Contoh: Saya sedang membersihkan rumah pada pukul 9.00 kemarin pagi.

Past Continous Tense dirumuskan sebagai berikut :

Subject + was/were + verb-ing (present participle) + …

Contoh : I was cleaning the house at 9.00 o’clock yesterday morning.

* Past Perfect Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Lalu, diikuti peristiwa lain sebagai keterangan atas kejadian pertama yang sudah selesai. Contoh: Dia sudah menjual mobil itu ketika saya datang untuk melihatnya kemarin sore.

Past Perfect Tense memiliki struktur :

Subject + had + past participle …

Simple Past Tense memiliki struktur :

Subject + verb (past form) + …

Lalu, kedua rumusan di atas disambung dengan kata penghubung seperti “when, before, atau after.”

Contoh : He had sold the car when I came to see it yesterday afternoon.

* Past Perfect Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan sebuah kejadian yang terjadi di masa lalu, tetapi masih berlangsung hingga saat ini dan mendatang. Contoh: Pada pukul 9.00 tadi pagi, Ratih mulai mengetik laporan bulanan di kantornya. Dua jam kemudian, laporan bulanan itu belum selesai diketiknya dan dia masih harus mengetik sampai selesai.

Kalimat di atas akan lebih simpel jika ditulis dalam past perfect tense dengan struktur :

Subject + had + been + verb-ing (present participle) + ….

Contoh : Diana had been typing the monthly report for 2 hours at 11 o’clock this morning.

Future Tense

* Simple Future Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu peristiwa yang terjadi di masa yang akan datang. Contoh: Nyonya Lia akan memberiku hadiah istimewa besok.

Struktur simple future tense dirumuskan :

Subject + will + verb (infinitive) + …

Contoh : Mrs. Lia will give me special gift tomorrow.

* Future Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu peristiwa yang telah direncanakan. Contoh: Aku akan menulis surat nanti malam.

Struktur future continous tense dirumuskan :

Subject + am/is/are + going to + verb (infinitive tanpa to) + …

Contoh: I am going to write a letter tonight.

* Future Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan yang telah direncakan pada waktu tertentu di masa yang akan datang. Contoh: Sarah akan meninggalkan rumah nenek saat kakeknya pulang jam 5 sore ini.

Struktur perfect continous tense biasa dirumuskan :

Subject + shall/will + be + ver-ing (present participle) + …

Contoh: Sarah will be leaving her grandmother’s house if her grandfather come home at 5.00 o’clock this afternoon.

* Future Perfect Tense

Digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan yang sudah selesai dilakukan pada pada masa yang akan datang. Contoh: Fita sudah akan menyelesaikan tugasnya sebelum bulan Januari.

Struktur future perfect tense dirumuskan sebagai berikut:

Subject + will + have + past participle + …

Contoh: Fita will have completed her work by the end of January.

* Future Perfect Continous Tense

Digunakan untuk menunjukkan sebuah kejadian yang dimulai pada waktu lalu, tetapi masih tetap berlangsung sampai waktu yang akan datang. Contoh: Ketika Lala datang pagi ini, aku pasti masih tidur selama 1 jam.

Struktur future perfect continous tense:

Subject + shall/will + have + been + verb-ing + …

Contoh: When Lala arrives this morning, I will have been sleeping for 1 hour.